Tuesday 22 September 2020

Pengalamanku Mengedukasi Kesehatan (Catatan Guru Pelosok Negeri)

Belum terasa lama, 16 September 2017 lalu, awal perjalanan saya ke pulau ini. Berangkat dari Jakarta dengan bermodal nekat menuju ke Ambon melalui Bandara Cengkareng. Lalu melanjutkan perjalanan ke Pulau Buru mengggunakan penyeberangan kapal Feri KM Wayangan. Sesampai di Namlea kami tak tahu harus tinggal dimana hingga seorang warga bersiap menampung kami berempat. Belakangan kami tahu bahwa Antua (Sebutan untuk orang yang dihormati) adalah Bibi Jay dan ibu surays anggota DPRD Kabupaten Buru. jika ditanya, "apa yang membawa kami ke Pulau ini?." Semangat mengabdi untuk Negeri lah yang membawa kami ke Pulau ini. Pulau Negeri para raja-raja, Pulau Bupolo, Pulau yang terkenal akan pesona Danau Rana-nya, Pulau swasembada beras Provinsi Maluku, dan Pulau Pengasingan para Tapol (Red: Tahanan Politik) termasuk Penulis terkenal Pramudiya Ananta Toer dan Hesri Setiawan, Bahkan Soekarno pernah bergumam "Indonesia bukan Indonesia tanpa Buru." kata itu yang selalu saya dengar sebagai kebangsaan nasionalisme masyarakat di sini.

Tepat 27 September 2019, giliran saya melanjutkan perjalanan ke tempat tugas setelah seminggu lebih di Namlea (ibu kota Kabupaten Buru). Desa Wasi adalah tujuan kami, secara administratif desa ini berada dalam wilayah Kecamatan Fena Leisela, tetapi untuk mengaksesnya melalui jalur Kecamatan Waplau, menuju desa Miskoko, dan Silewa. tak ada informasi detail yang kami dapatkan sejak kedatangan kami di Namlea tentang wilayah ini. “Desa Wasi itu dekat Danau Rana pak Guru.” ucap Abang Tam, teman baru saya di Jalan nemetek kodim depan rumah bibi Jay. Melihatya di Google Maps, titik Danau Rana tepat di tengah-tengah pulau Buru. Menurut informasi belum ada Fasilitas memadai di Desa Tersebut.

Bukan mobil-mobil travel yang seperti di Jawa, tertutup ber-AC, dan bisa santai. Kami dijemput oleh Mobil Strada 4WD, barang-barang dinaikkan lebih dulu, disusun rapi berdasarkan jenisnya, ditutup terpal, lalu diikat kuat. Saya dan Pak Hendrik membantu kernet memperbaiki susunan barang, sesekali membantu mengubah posisi barang, atau hanya sekadar menjulurkan tali agar dieratkan oleh kernet Oto (sebutan Mobil daerah timur indonesia). “Ok, su beres Pak Guru.” ucap kernet sambil mengibas-ibaskan tangannja di bagian belakang bajunya. Itu pertanda bahwa Oto siap melaju melintasi DAS WAEGEREN Menuju Lembah rana yang bernama Desa Wasi 

****

(beberapa Obat Medis yang saya siapkan)

Melihat postingan lomba Blog di Instagram yang diadakan Korindo Grup dengan tema - Meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman - sebagai upaya kampanye sosial oleh Korindo Grup  untuk mewujudkan KESEHATAN YANG BAIK UNTUK SESAMA membuat saya tertarik untuk ikut menulis pengalaman pribadi selama mengabdikan diri sebagai Guru di Pedalaman pulau Buru. Bukan karena hadiah lomba ini, tapi visi yang dibangun oleh Korindo Foundation untuk mewujudkan kesehatan yang merata di daerah terpencil. Pun jika tuhan mengijinkan menang itu hanya bonus.  

Tinggal di Desa Wasi adalah pengalaman berharga bagiku. Pernah aku menulisnya dalam tulisan -mesin waktu ukalahin- . Menjadi Anak Piara bapak Desa, tidur hanya beralaskan tikar, MCK di Sungai, Beberapa rumah warga masih terbuat dari kulit kayu, papan, dan hanya beberapa yang menggunakan tembok,pencahayaan hanya pelita tanpa listrik, tak ada signal GSM bahkan Radio Orari pun juga tak ada. Jangan membayangkan adanya fasilitas kesehatan pemerintah. Disini masyarakat hanya mengandalkan ramuan dari alam. Masuk angin, kecapean, sakit kepala, gatal-gatal, digigit serangga obatnya Minyak kayu putih. Badan pegal-pegal, keram, menggunakan daun gatal, beberapa sakit lain hanya menggunakan gula aren yang dicampur dengan sagu seperti diare, demam, sakit perut. Dan berbagai ramuan lainnya.

Dengan segala keterbatasan itu, tentunya saya harus survive dan beradaptasi dengan cepat. Beberapa obat generit saya bawa dari kota, Bodrex, paracetamol, entronstop, super tetra, dan berbagai alat p3k seperti kapas, bethadin, revanol, kain kasa. Tak jarang saya mencoba pengobatan tradisional masyarakat. Minyak kayu putih adalah barang wajib saya bawa kemana-mana, terkadang saya menggunakan daun gatal untuk mengurai rasa lelah.

Setelah tinggal beberapa lama, ternyata mereka bukan tidak mau menggunakan obat medis, tapi karena keterbatasan. Jangan membayangkan di kampung ini ada Apotek atau klinik bahkan di kios pun tak ada yang jual obat-obatan medis. Sesekali siswaku datang menanyakan obat diare misalnya, atau obat demam. Pernah juga ada siswa yang kecelakaan, tangannya teriris parang saat mengambil kayu bakar dan membutuhkan alat P3K.

Selain menggunakan obat tradisonal dan obat medis yang saya beli di apotek. Perlahan saya mengajarkan cara hidup sehat ke Masyarakat. Kepada siswa khususnya. Swiping yang tidak mandi ke sekolah, swiping kebersihan gigi, swiping kuku dan rambut, swiping kudis, dan memperhatikan kebersihan pakaian mereka. Tak jarang saya menemukan siswa yang tanpa mandi ke sekolah, hanya cuci muka, danmenggunakan bedak sebagai pengharum yang hanya bertahan hingga dua jam, setelah mereka berkeringat bau alami kembali menyengat menyebar dalam ruangan kelas, apalagi jika jam pertama Olahraga. Beberapa kali saya membagikan sabun batang dan sampo ke siswa. Mengajak mereka mandi bareng di sungai. Dan beberapa kebiasaan yang secara tak langsung membuat mereka bersih dan sehat.


(mengajak siswa mandi air laut, lalu mandi air tawar)

Pembiasaann-pembiasaan itu tak mudah memang, butuh dukungan dari berbagai pihak, utamanya tenaga medis dan pemerintah, namun tetap kami lakukan. Selain mengajar kami juga mengajak siswa hidup bersih dan sehat. Dari kebiasaan kecil, Mandi sebelum ke sekolah, mencuci baju yang sudah sehari dipakai, mandi dan membersihkan badan sepulang bermain, dan berbagai hal kami edukasi ke anak-anak di kampung tempat tugasku. Seru, unik, lucu, dan berbagai hal pun kami dapatkan.

kedepannya saya berharap pemerintah membangun fasilitas kesehatan disini, setidaknya PUSTU untuk memantau ibu-ibu yang sedang hamil atau balita yang ada di kampung ini. Bisa juga dari pihak pemerintah sesekali berkunjung untuk memberikan pelayanan kesehatan  di Baeleo (Sebutan Gedung adat tempat pertemuan kampung). Pun sangat berharap dari pihak swasta seperti Korindo Grup yang membangun Klinik ASIKI di beberapa wilayah Timur di Indonesia seperti kabupaten Boven Digoel. Keberadaan Klinik Asiki di Kabupaten Boven Digoel, Papua menjadi bukti nyata kontribusi Korindo Group dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di daerah terpencil. Tentu dengan berada di wilayah perbatasan yang minim dengan dukungan infrastruktur memadai, ada berbagai tantangan di bidang kesehatan yang harus dihadapi oleh tim medis. Salah satunya adalah menurunkan tingkat kematian ibu hamil, ibu melahirkan, dan bayi baru lahir. 

Apalagi setelah berselancar di Media Internet dan bertanya di Masyarakat ternyata PT Pambers Jaya yang beroperasi di Kabupaten buru dalam pengolahan alih fungsi lahan kering ke Lahan Karet dan Sawit di beberapa area di Buru adalah milik Korindo Grup, hingga besar harapan saya Korindo Grup juga memperhatikan kesehatan di wilayah kerjanya terkhusus keluarga para karyawannya. diharapkan pula melalui Klinik Asiki, Korindo grup bekerjasama dengan pemerintah Daerah untuk membangun kualitas kesehatan di Kabupaten Buru, terkhusus di wilayah pedalaman. Akan kah?

 

No comments:

Post a Comment

Komentar Anda ?