Berawal dari perbincangan yang tidak
santai dilantai dasar, setelah menelpon ke rumah dan otak ini dipenuhi dengan
masalah rasa ketidak adilan kebijakan seorang ayah. Seakan saya mau teriak,
kadang ingin mengeluarkan kata-kata yang tidak etis “an…..ng” “su……..a”. ditambah
dengan tugas perangkat pembelajaran yang menungguku di lantai 3, kamar 307.
Lingkungan apa ini?, dikelilingi dengan
jeruji-jeruji besi, lingkungan yang begitu sempit diawasi dengan 3 satpam dan
kurang lebih 20 cctv, absen sidik jari (pinjer, pinger, pinter, printer,
pokoknya itulah, yg Cuma tahu dua kalimat “thank you” atau “please try again”
kadang saya membayangkan diakhir kalimat itu ada sedikit desahan “aaaahhhhhh”
dari suara wanita itu),belum lagi bunyi fire alarm di saat pagi, dan waktu
makan (dan bagaimana jika ada kebakaran lalu fire alarm ini berbunyi kemudian
guru2 ppg ini turun ke kantin dengan rantang unik dan botol masing-masing)
belum lagi antrian disaat makan, yang
alurnya sudah saya hafal luar kepala (piring ke sendok ke nasi ke sayur ke
lauk1 ke lauk 2 dan terakhir sambal kalau belum habis)
dan tentunya saya juga sudah hafal
pasangan menunya, misalnya kalau breakfast(terong = semur tahu),(bihung=sambal
tempe campur ampela ayam),(soto banjar=telur),(sop kol=tumis tempe tahu),(nasi goreng,timun,telur
ceplok), lunch/dinner (ikan bolu goreng=sayur santan labu kacang panjang),(ayam
sambal kecap/kering=sop kol,wortel,kentang)(sayur bening=ikan bakar sambal
dabu), dan beberapa hasil penelitian teman misalnya kesimpulan
“jika
siang=ikan maka malam=ayam hukum berlaku kebalikan”
“telur
lebih duluan dari pada ayam, karena telur biasanya datang pada saat sarapan,
dan ayam selalu datang siang atau malam”
Aghhh,,
ini serasa film sainsfiksi yang dikeluarkan hollywood
ditambah animo ketakutan akan
penilaian-penilaian yang akan menentukan kesuksesan kita pada akhirnya, peer
assestment, penilaian pamong, apalah-apalah. Bahkan sebelum Gong berbunyi dan
instrument penilaian ditangan, sudah banyak teman menilai dengan standar
penilaian masing-masing, dan jujur aku sudah melakukan hal sama, menilai teman dengan
standar penilaianku sendiri.
Jujur pernah aku berfikir “AKU SEMAKIN
KOLOT DENGAN LINGKUNGAN SEMPIT INI ?”,dan saya yakin bukan Cuma saya pastinya
merasakan hal yang sama. Dipenjarakan dengan aturan-aturan, dengan
jeruji-jeruji besi, dengan absen fingerspot, dengan perangkat pebelajaran
(rpp-bahan ajar-media-lkpd-evaluasi-presentasi-bantai-perbaikan-peerteaching),
dengan kegiatan asrama (silabus-sains-english day-seni-kerja bakti), bahkan aku
merasa terpenjara dengan wajah-wajah yang itu-itu saja aku temui tiap hari, (ditempat
makan, ditangga, dikamar mandi,dipete-pete, ruang workshop) wajah itu semakin
meruncing ke satu titik kata “GURU”.
Yah… itu dia, GURU adalah cita-cita sebagian
besar masyarakat kecil ini, “SELESAI INI, AKU AKAN JADI GURU”, dan jujur saya memaksakan
diri untuk mengatakan hal yang sama dengan redaksi bahasa lain “YA SUDAH LAH,
MUNGKIN JADI GURU MEMANG TAKDIRKU”. Wajar saja, karena sejak orientasi, kita
memang diorientasikan menjadi guru professional. Dan jujur tanpa aku sadari hal
itu menyempitkan pemikiranku dan meng”IYA”kan bahwa PPG sm3t=Guru atau mati. 3
bulan PPG SM3T ini aku lalui, dan tantangan terberat bukan pada penjara-penjara
tadi, tapi ada rasa mengganjal “wah…., saya ikut PPG
ini, artinya memang saya sudah patok diriku untuk menjadi guru, setelah ini
saya akan mendaftar cpns guru jalur umum, atau mungkin ikut lagi program GGD
bagaimana jika tak lulus keduanya?” hanya itu PPG-jadi guru- mati-mengharap
amal jariah (kalau mendidiknya dengan hati, bagaimana jika hanya dengan GAJI).
Hingga pada suatu malam aku bertemu
dengan seorang teman sebut saja FS, dengan bahasa sederhananya “bagaimana kalau
kita sedikit keluar dari pola fikir tentang orientasi PPG ini?, misalnya dari
PPG ini kita dapat pelajaran bagaimana mengatur keluarga kita kelak, atau dari
PPG kita bisa mendapatkan calon keluarga kita he…he…he…he….(sambil senyum),
atau bisa jadi kelak relasi bisnis kita dari teman-teman PPG mereka kan
cerdas-cerdas dan sudah pasti siap diajak kerja sama, bagaimana kalau waktu
setahun ini kita gunakan untuk mengevaluasi masa lalu dan merancang ulang
bangunan masa depan kita yang belum sempurna? Bagaimana jika ini memang sudah
tertulis di lauhun mahfuz dan sudah merupakan rencana terindah dari Sang Sutradara
yang MAHA HEBAT. Jalani maki saja, dan maksimalkan prosesnya, totalitas ji
dibutuhkan. Just do it without ngeluh-ngeluh,, hahahaha…..
Jadi PPG bukan hanya tentang jadi GURU
dan iming-iming tunjangan PROFESIONAL, ini tentang kwalitas hidup teman. Kita dibatasi
dengan lingkungan, diawasi dengan cctv, dinilai oleh masyarakat kecil, pola
tidur dan makan diatur, bukan berarti kebebasan kita dipenjarakan tapi
bagaimana kita menyikapi LINGKUNGAN KECIL INI sebelum kelak kita berada di
LINGKUNGAN BESAR DENGAN MASYARAKAT LUAS.
Bebaskan fikiran kita, karena fikiran tak akan mampu dipenjarakan
PPG ≠ HANYA GURU
PPG = GURU PROFESIONAL + KWALITAS HIDUP LAINNYA
(mohon masukan, lagi belajar nulis….)
Mantap om kahar👍kritis dan mencerdaskan👏👏👏👏
ReplyDeleteLanjutkan kwn!
ReplyDelete